Oleh: Salma, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Problem Kaderisasi Organisasi NU di Kampus Negeri
Problem kaderisasi organisasi yang secara struktural maupun kultural berada di bawah Nahdlatul Ulama (NU) di kampus negeri telah cukup lama menjadi perhatian bagi para penggerak atau aktivis NU. Sebagai organisasi dengan basis kultural di masyarakat yang sangat besar, peran NU di berbagai bidang strategis di Indonesia masih dirasa kurang. Peran NU masih dirasa terbatas di bidang agama saja. Padahal seharusnya NU dapat berperan jauh lebih dari itu.
Salah satu problem kaderisasi yang dianggap penting untuk diperbaiki adalah kaderisasi organisasi berbasis NU di perguruan tinggi negeri. Kaderisasi di kampus negeri dianggap penting dan strategis terhadap pengembangan kaderisasi organisasi NU secara umum dan lebih luas. Hal ini dikarenakan warga NU yang sedang mengenyam pendidikan tinggi di kampus negeri berpotensi untuk berkontribusi di berbagai bidang di luar bidang keagamaan pasca lulus dari kampus.
Namun demikian, melakukan kaderisasi di kampus negeri ternyata tidak semudah itu. Memulai kaderisasi pada saat calon kader berada di kampus ternyata sudah dianggap terlambat. Dengan adanya organiasi pelajar NU, seharusnya kaderisasi organisasi berbasis NU di kampus negeri dapat dimulai lebih awal, yaitu sejak masih di tingkat SMA. Oleh karena mayoritas mahasiswa di kampus negeri berasal dari SMA negeri, maka pelajar dengan basis kultural NU yang berada di SMA Negeri perlu mendapat perhatian khusus.
Karakteristik Psikologis Pelajar SMA dan Mahasiswa Baru
Melakukan strategi kaderisasi pada pelajar SMA membutuhkan strategi khusus. Agar upaya merebut hati para pelajar SMA negeri berhasil, terlebih dulu harus dipahami karakteristik psikologis dari pelajar SMA maupun mahasiswa baru. Pelajar SMA dan mahasiswa baru secara psikologis berada pada tahap perkembangan yang sama, yaitu remaja. Pada saat menjadi mahasiswa baru, tahap perkembangannya juga sedang berada pada fase transisi menuju dewasa awal sehingga karakteristiknya masih belum jauh berbeda dibandingkan saat duduk di bangku SMA. Fase perkembangan remaja dicirikan dengan sejumlah perubahan yang diaalami, baik dari segi fisik, kognitif, dan sosioemosi, sebagai berikut (Santrock, 2002):
a. Perkembangan fisik
Perkembangan fisik yang paling signifikan dan mencolok dari fase perkembangan remaja adalah pubertas. Secara fisik, pubertas ini ditengarai lewat kematangan organ seksual dan semakin jelasnya ciri seksual primer maupun sekunder. Kematangan fisik pada remaja ini berimplikasi pada tersedianya potensi kemampuan fisik remaja untuk dimanfaatkan dalam proses pengembangan diri. Sebagai contoh, remaja yang ingin mengembangkan diri di bidang olahraga, akademik, maupun seni, memiliki energi yang besar untuk disalurkan di berbagai bidang tersebut. Penyaluran energi pada aktivitas yang positif menjadi hal penting dalam hal ini.
b. Perkembangan kognitif
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, remaja termasuk ke dalam tahap penalaran kognitif yang bersifat operasional formal. Yang dimaksud dengan tahap penalaran operasional formal adalah kemampuan penalaran terhadap konsep yang abstrak dan diterapkan pada berbagai konteks yang luas. Kemampuan berpikir deduktif-hipotetik dan pemecahan masalah secara sistematis adalah dua contoh kemampuan penalaran operasional formal yang berkembang lebih matang saat remaja.
c. Perkembangan sosioemosi
Pada saat individu memasuki fase remaja, terjadi transisi pola relasi interpersonal. Sebelumnya relasi individu lebih berpusat pada relasi anak-orangtua, sementara saat memasuki fase remaja porsi relasi dengan teman sebaya meningkat. Remaja banyak mendapat pengaruh (ataupun mempengaruhi) teman sebayanya. Konformitas juga menjadi ciri yang menonjol pada fase ini. Secara emosi, remaja mulai mengalami banyak emosi yang lebih intens. Terdapat kecenderungan untuk merasa dirinya memiliki pengalaman unik. Hal ini berdampak pada seringnya remaja merasa pada periode yang sangat berat dan seolah hanya dirinya yang mengalami permasalahan tertentu. Kecenderungan untuk mengambil resiko dalam berperilaku juga tinggi pada fase remaja. Hal ini dapat berdampak positif dengan terlibatnya remaja pada aktivita baru yang mengembangkan dirinya ke arah positif. Akan tetapi, perilaku beresiko yang tidak tepat juga dapat berakibat buruk seperti keterlibatan remaja dalam konsumsi NAPZA atau perilaku beresiko lainnya.
Secara lebih khusus, beberapa karakteristik remaja sebagaimana dipaparkan oleh Santrock (2002) maupun Boyd, Johnson, & Bee (2015) yang relevan untuk diperhatikan dalam proses kaderisasi adalah sebagai berikut:
• Remaja telah mampu berpikir abstrak.
• Remaja mampu melakukan penalaran deduktif-hipotetik.
• Remaja adalah tahap di mana individu menerapkan cara penyelesaian masalah yang sistematis.
• Remaja memiliki ciri berani mengambil resiko.
• Remaja adalah tahap pencarian identitas diri.
• Remaja memiliki karakteristik egosentris di mana ia merasa dirinya unik dan memiliki pemikiran yang unik.
Selain ciri perkembangan di atas, menurut Havighurst (Hurlock, 1990), remaja memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai. Tercapainya tugas-tugas perkembangan tersebut akan membantu remaja memasuki tahap perkembangan selanjutnya. Sebaliknya, tidak tercapainya tugas-tugas perkembangan tersebut akan menghambat proses perkembangan remaja di tahap selanjutnya. Adapun tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (Hurlock, 1994) adalah sebagai berikut:
1. Mencapai pola relasi baru yang lebih matang dengan teman sebaya berjenis kelamin berbeda sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Mencapai peran sosial sesuai dengan jenis kelamin atau peran gender yang selaras dengan tuntutan sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya.
3. Menerima kondisi fisiknya secara keseluruhan sebagai pria atau wanita dan menggunakannya secara efektif sesuai fungsi atau kodrat masing-masing.
4. Berperilaku sosial yang bertanggung jawab di tengah masyarakat.
5. Mencapai kebebasan emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya sehingga dapat mengembangkan identitas diri.
6. Mempersiapkan diri untuk mengembangkan karir tertentu terkait dengan aspek ekonomi dalam kehidupannya.
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki dunia pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
8. Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman berperilaku dan mengembangkan ideologi untuk kepentingan kehidupan sebagai warga negara.
Pemahaman terhadap ciri tahap perkembangan dan tugas perkembangan remaja menjadi penting dalam proses kaderisasi agar calon-calon kader yang masih remaja tersebut dapat diperlakukan dengan tepat sesuai tahap perkembangannya. Perlakuan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan mereka akan membuat para remaja pelajar ini tertarik untuk mengembangkan diri melalui organisasi NU.
Peluang dan Tantangan Kaderisasi Organisasi NU di SMA Negeri: Mulai dari Rekruitmen hingga Pendampingan
Melalui pemahaman yang baik mengenai karakteristik psikologis pelajar SMA, peluang organisasi NU untuk melakukan kaderisasi sejak dari SMA bisa dikatakan besar. Hal tersebut dikarenakan remaja pada dasarnya adalah kelompok yang mudah terpengaruh –dengan kata lain mudah dipengaruhi. Akan tetapi, tantangannya adalah beradu pengaruh dengan pihak lain yang juga sedang berusaha menarik simpati para pelajar SMA. Untuk itu, diperlukan strategi yang kreatif untuk memanfaatkan celah-celah peluang yang efektif mempengaruhi ataupun menarik perhatian pelajar SMA.
Setidaknya ada dua tahap penting dalam proses kaderisasi organisasi, yaitu tahap rekruitmen melalui pelatihan kader dan tahap pendampingan. Kedua tahap tersebut sama pentingnya agar proses kaderisasi berjalan optimal. Rekruitmen melalui pelatihan kader yang berhasil akan membawa input jumlah kader yang secara kuantitatif besar. Selanjutnya pendampingan yang berhasil akan membantu mengoptimalkan potensi kuantitas kader tersebut untuk pengembangan organisasi. Dengan kata lain kuantitas akan berkembang menjadi kualitas kader dan bahkan loyalitas kader terhadap organisasi.
Pada konteks kaderisasi pelajar SMA, menyediakan role model pemuda/i NU yang atraktif untuk diidentifikasi oleh remaja adalah satu strategi yang penting untuk diterapkan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, remaja adalah tahap pembentukan identitas. Proses pembentukan identitas tersebut dilakukan melalui mengamati, meniru, dan kemudian mengidentifikasi. Untuk itu, para penggerak/ aktivis/ trainer yang menjadi garda depan kaderisasi di SMA Negeri harus memiliki kapasitas intelektual dan interpersonal agar dapat mempersuasi para remaja potensial yang akan memasuki kampus-kampus negeri.
Referensi
Boyd, D., Johnson, B., & Bee, H. (2015). Lifespan Development, Fifth Canadian Edition. Toronto: Pearson Canada Inc.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2002). Life-span Development (Perkembangan Masa Hidup) Edisi 5 Jilid II. Jakarta: Erlangga.
0 Comments