Iklan

MATERI BAHTSUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA, KOMISI QONUNIYAH MUNAS 2019 DI BANJAR

TELAAH RUU ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

Deskripsi Masalah:      

Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan kita bernegara adalah untuk “memajukan kesejahteraan umum”. Sementara itu, untuk menjalankan kewenangannya dalam mengatur perekonomian masyarakat, maka negara diberikan mandat oleh konstitusi untuk menjalankan asas “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Negara diberikan kewenangan untuk mengatur perekonomian agar tidak terjadi monopoli dalam perdagangan dan penguasaan kekayaan oleh segelintir orang. 

Atas dasar konstitusi tersebut, dan untuk menumbuhkan perekonomian yang sehat, maka pada tahun 1999 (pasca krisis ekonomi dan moneter), Pemerintah dan DPR menerbitkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Dalam UU ini dikatakan bahwa Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk: menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, serta mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. 

Untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut, dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diberikan wewenang untuk menerima laporan, melakukan penelitian, penyelidikan dan atau pemeriksaan, memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran, memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat, serta memberikakn sanksi administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU. 

Namun demikian, praktik-praktik usaha yang tidak sehat masih saja merajalela, seperti melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran (monopoli), menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal (monopsoni), penguasaan pasar (baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain), serta persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender. Banyak faktor yang melatar belakanginya, mulai dari kongkalikong antara pengusaha dengan pejabat, masih maraknya praktik suap, dan tipu daya antar pengusaha. Hal inilah yang mendasari pemerintah dan DPR pada tahun 2018 berinisiatif untuk mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut. Karena UU ini dirasakan masih belum dapat menampung dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat.

Kerangka Konseptual:

Terdapat tujuh substansi baru dalam RUU tersebut sebagai perubahan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pertama, memperluas cakupan definisi pelaku usaha. Artinya, perluasan tersebut dapat menjangkau pelaku usaha yang berdomisili di luar wilayah Indonesia. Seperti diketahui, dengan perkembangan era teknologi, pelaku usaha dapat menggunakan sistem e-commerce yang tak dibatasi ruang dan waktu. UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebelumnya belum menjangkau pelaku usaha yang berada di luar wilayah Indonesia. Dengan RUU terbaru ini, nantinya dapat pula menjangkau perilaku anti persaingan dalam platform bisnis baru berbasis digital seperti e-commerce, e-procurement, e-payment, dan bisnis berbasis online lain. 

Kedua, mengubah notifikasi merger dari kewajiban untuk  memberitahukan setelah merger menjadi kewajiban pemberitahuan sebelum merger alias pre merger notification.

Ketiga, mengubah besaran sanksi. Selama ini sanksi yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1999 hanya menggunakan nilai nominal besaran tertinggi dalam rupiah. Tetapi RUU ini sanksinya sekurang-kurangnya hanya 5 persen, sedangkan setinggi-tingginya 30 persen dari nilai penjualan dalam kurun waktu pelanggaran terjadi.

Keempat, terkait dengan mekanisme pengaturan pengampunan dan/atau pengurangan hukuman atau lazim disebut leniency program. Aturan tersebut sebagai strategi efektif dalam membongkar kartel dan persaingan usaha yang tidak sehat dalam kurun waktu jangka panjang.

Kelima, membuat aturan pasal yang mengatur penyalahgunaan posisi tawar yang dominan terhadap penjanjian kemitraan. Pengaturan itu sebagai instrumen hukum terhadap perlindungan pelaksanaan kemitraan yang melibatkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). 

Keenam, peningkatan pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam RUU tersebut mengatur ketentuan yang memungkinkan KPPU meminta bantuan pihak kepolisian. Tujuannya, dalam rangka menghadirkan pelaku usaha yang dinilai tidak kooperatif dalam persidangan di KPPU. Efektivitas putusan KPPU dalam RUU tersebut mengatur kewenangan menjatuhkan sanksi administratif. Yakni berupa rekomendasi pencabutan izin usaha terhadap pelaku usaha yang dinilai terbukti melanggar larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sedangkan terhadap putusan KPPU berupa denda yang telah berkekuatan hukum tetap, namun tak diindahkan para pihak menjadi piutang negara. Dalam RUU tersebut mengatur pula ketentuan lembaga piutang negara berkewajiban menyelesaikan pelaksanaan putusan KPPU tersebut.

Ketujuh, dalam rangka berbagai tugas dan kewenangan KPPU ke depannya, maka diperlukan penguatan terhadap lembaga KPPU. Selain itu, mesti menempatkan KPPU dalam sistem ketatanegaraan yang sejajar dengan lembaga negara lain. Penguatan KPPU mesti didukung pula dengan kesekretariatan jenderal (Kesekjenan) yang terintegrasi dengan tata kelola pemerintahan, sehingga mampu memberikan dukungan pelaksanaan tugas Anggota KPPU baik secara substansi maupun dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBN.

Masalah Pokok/Krusail

Dalam revisi UU No. 5 Tahun 1999  ini terdapat beberapa masalah pokok pembahasan yang menjadi perdebatan, antara lain: 

1. Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 

Kelompok pelaku usaha menganggap bahwa yang sangat krusial dan menjadi kunci dari hampir seluruh pasal-pasal dalam RUU ini adalah ketentuan yang bersifat rule of reason dan sangat sedikit yang bersifat perse ellegal yaitu dipersyaratkan tentang terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Bahwa pelaku usaha dinyatakan bersalah melanggar pasal-pasal dalam UU ini apabila pelaku usaha terbukti melakukan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Mereka melihat pasal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena menimbulkan multi tafsir. 

Menurut definisi tersebut pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjadi kabur dan tidak ada tolok ukur yang tegas, karena ujung-ujungnya adalah perbuatan tidak jujur dan melawan hukum, sehingga pengertian tersebut telah diartikan sebagai pasal karet, atau dengan kata lain tidak terdapat standar pembuktian yang jelas atas terjadinya suatu pelanggaran. Baik KPPU maupun pelaku usaha tidak memiliki batasan baku tentang tindakan apa yang disebut pelanggaran dan apa yang tidak melanggar, yang kuncinya harus dibuktikan telah terjadi Praktek Monopoli atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

2. Kelembagaan dan kewenangan KPPU

Dalam RUU ini, berkenaan dengan aturan kelembagaan KPPU, dinilai oleh berbagai pihak bersifat “super body”. Beberapa kalangan mempersoalkan aturan tersebut dimana KPPU adalah sebagai : 

a. Pelapor 

b. Pemeriksa (investigator) 

c. Penuntut (jaksa) 

d. Pemutus (hakim) 

3. Persoalan denda dan hukuman

Denda hukuman dalam RUU ini akan ditingkatkan dari Rp 25 Milyar menjadi 25% dari omset. Ini bagian yang paling dipersoalkan oleh pelaku usaha. Mereka berpendapat bahwa denda atau penalti seharusnya dihitung berdasarkan illegal profit yaitu keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha dari perilaku tidak sehat atau perilaku anti persaingan atau praktek monopoli (illegal business practice) seperti kartel, penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian tertutup, integrasi vertikal yang merugikan dan atau praktek bisnis tidak sehat lainnya. Konsep denda dalam RUU ini dianggap akan sangat fatal terutama terhadap sektor perbankan dan sektor lain yang perputaran uangnya sangat besar. Denda sebesar 10% s/d 30% omzet tahunan bank atau asuransi misalnya akan langsung mempailitkan bank atau asuransi tersebut dengan dampak sistemik terhadap ekonomi yang luar biasa. 

4. Definisi/batasan terlapor

Dalam ketentuan umum terdapat pendefinisian tentang Terlapor, bahwa Terlapor adalah Pelaku Usaha dan atau Pihak Lain yang diduga melakukan pelanggaran. Dalam UU yang lama, UU No 5 Tahun 1999 definisi Terlapor hanyalah pelaku usaha. Dalam draft RUU bahwa Terlapor adalah Pelaku Usaha dan Pihak Lain. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang dimaksud Pihak Lain? Dalam arti selain pelaku usaha, siapa saja bisa menjadi Terlapor yaitu sebagai Pihak Lain. Sedangkan obyek dari hukum persaingan usaha terbatas hanya pada pelaku usaha. Unsur pihak lain ini menjadi pasal karet yang akan menyasar siapa saja, bisa pejabat pemerintah secara individu, bisa pejabat negara, anggota DPR yang dianggap memfasilitasi persekongkolan monopoli, bisa individu-individu direksi perusahaan, bisa individu-individu asosiasi atau siapa saja yang tersasar oleh implementasi RUU ini. 

5. Keharusan Membayar Denda / Penalti Di Muka, Hukuman Rp 2 Trilyun Dan Pidana 

Terdapat usulan bahwa terlapor jika akan melakukan upaya hukum keberatan atau banding harus membayar dimuka denda sebesar 10% (seperti pengadilan pajak). Bagi pelaku usaha, hal ini dianggap akan menyulitkan ketika terlapor dinyatakan tidak bersalah. Bagaimana menarik kembali uang yang sudah terlanjur masuk ke kas negara? Selain itu, besaran 10% dari denda yang berdasar omset usaha bisa sangat mengganggu cash flow perusahaan (bisa gagal operasi jika perusahaan itu perbankan). Mereka menganggap, hal ini melanggar prinsip yang mendasar dalam hukum yaitu azas praduga tidak bersalah, sebelum sebuah keputusan hukum memiliki kekuatan hukum tetap. Seharusnya denda dibayar setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam RUU juga terdapat ancaman hukuman pidana denda hingga Rp. 2 triliun atau pidana kurungan selama-lamanya 2 tahun. Hal ini membuat trauma pelaku usaha sehingga demotivated dalam berinvestasi. 

6. Kode Etik dan Dewan Pengawas 

Dunia usaha menekankan pentingnya Kode Etik dan Dewan Pengawas KPPU yang tidak bersifat Ad Hoc untuk penanganan abuse of power atau moral hazard atau bentuk kesewenangan terhadap terlapor yang diperlakukan tidak wajar. Adanya argumen yang menyatakan bahwa terlapor dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri kurang tepat karena hal itu merupakan prosedur peradilan yang biasa saja; yang dipersoalkan adalah terjadinya abuse of power atau moral hazard atau bentuk kesewenangan lain yang bukan merupakan pokok perkara. Ini dipersoalkan kalangan pelaku usaha yang berpendapat bahwa ketentuan mengenai kode etik dan Dewan Pengawas harus dirumuskan jelas dan tegas di dalam RUU dan bukan diserahkan kepada KPPU untuk mengaturnya. 

7. Penafsiran & Pengaturan Lebih Lanjut Pasal-Pasal RUU 

Dalam draft rancangan amandemen UU No 5/1999 ini terdapat banyak sekali pasal yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini ditentukan oleh KPPU. Aturan lebih lanjut tentang UU umumnya berbentuk Peraturan Pemerintah. Menyerahkan kewenangan tersebut kepada KPPU akan menimbulkan persoalan conflict of interest, dan memberikan kewenangan berlebih hak monopoli tafsir atas UU kepada KPPU. Hal ini dapat menimbulan ketidakadilan dalam implementasinya. 


Rekomendasi dan Landasan Keagamaan

Rekomendasi:

1. Menyetujui rencana perbaikan perangkat hukum yang mengatur persaingan usaha, mengingat pada waktu penerbitan UU No. 5/1999 di waktu sebelumnya diperoleh kesan penyusunan yang tergesa-gesa. 

2. Menyetujui revisi UU untuk:

a. Memperkuat kelembagaan KPPU agar lebih optimal dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

b. Memperluas kewenangan KPPU untuk bertindak sebagai penyelidik (termasuk penggeledah atau dalam kondisi tertentu melakukan penyadapan), penyidik, penuntut, dan sekaligus pemutus perkara dalam kewenangan KPPU.

3. Untuk keperluan pembuktian semua instansi pemerintah maupun swasta diwajibkan memberikan akses data dan informasi yang diperlukan oleh KPPU dalam penanganan kasus persaingan usaha.

4. Memperkuat dibentuknya dewan pengawas atau dewan etik yang independen dengan melibatkan komponen masyarakat termasuk para ahli agama.

5. Perlu perbaikan mengenai substansi, struktur pasal-pasal, dan redaksi muatan-muatan baru yang diperlukan agar kepentingan umum dapat dikedepankan guna mencapai efisiensi dan kemakmuran rakyat.

6. Mendukung ditetapkannya besaran denda dan hukuman bagi pelaku usaha yang melanggar aturan sesuai RUU ini yaitu maksimal 30% dari omzet selama melakukan pelanggaran dan dalam kondisi tertentu merekomendasikan dicabutnya izin usaha.

7. Apabila diperlukan pengaturan turunan dari Undang-undang yang berlaku maka diatur lewat peraturan KPPU dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8. Terkait dengan kemungkinan adanya aksi korporasi berupa merger dan akuisisi yang dilakukan perusahaan melalui Penanaman Modal Asing (PMA), RUU harus memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dalam negeri dari praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan oleh aksi korporasi pelaku usaha modal asing tersebut. 

9. Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU larangan praktek Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat agar iklim persaingan usaha yang sehat lebih terjamin.

Landasan Keagamaan:

1. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩ 

2. السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي اْلأَرْضِ يَأْوِي إلَيْهِ كُلُّ مَظْلُوْمٍ

3. تَصَرُّفُ اِلامَامِ عَلَى الرَّعِيّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة

4. من احتكر حكرة يريد أن يغلى بها على المسلمين فهو خاطئ وقد برئت منه ذمة الله ورسوله" رواه أحمد والحاكم عن أبى هريرة في روايات في النهى عن الاحتكار.

5. قال عمر: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالإفلاس أو بجذام

6. الأصل في النهي حرام إلا ما دل الدليل على خلافه

7. لا شك أن أحاديث الباب تنهض بمجموعها للإستدلال على عدم جواز الإحتكار

8. غلا السعبر على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا يارسول الله لوسعرت؟ فقال: إن الله هو القابض الباسط الرزاق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولايطلبني احد بمظلمة ظلمتها اياه في دم ولامال رواه الخمسة الا النسائي وصححه الترمذي 

9. التسعير سبب الغلاء، لأن الجالبين إذا بلغهم ذلك لم يقدموا بسلعهم بلداً يكرهون على بيعها فيه بغير ما يريدون، ومن عنده البضاعة يمتنع من بيعها ويكتمها، ويطلبها أهل الحاجة إليها فلا يجدونها إلا قليلاً، فيرفعون في ثمنها ليصلوا إليها، فتغلو الأسعار ويحصل الإضرار بالجانبين: جانب المُلاك، في منعهم من بيع أملاكهم، وجانب المشتري في منعه من الوصول إلى غرضه، فيكون حراماً



Post a Comment

0 Comments